Pages

Senin, 02 Mei 2011

AMALAN KUNCI REZEKI [ UST. MASHADI ]

Manusia hanya dapat mengharapkan pertolongan dari Allah Azza Wa Jalla. Tidak dapat menggantungkan diri kepada makhluk. Hanya Allah Rabbul Alamin yang berhak untuk dimintai pertolongan ‘Iyyaka nasyta’in’, datangnya pertolongan itu hanyalah dari Rabb semata.

Manusia dan kelompok yang menggantungkan hidupnya kepada makhluk lainnya, pasti akan mendapatkan dirinya terjatuh ke dalam lembah kehinaan dan kesesatan belaka.
Diantara pintu yang akan mengantarkan pintu rezeki, dan menjauhkan dari kesempitan hidup adalah :

1.Membaca “la hawla wala quwwata illa billah”.

Barang siapa yang lambat rezekinya hendaklah banyak mengucapkan la hawla wala quwwata illa billah (HR.At-Tabrani.

2.Membaca “La ilaha illallahul malikul haqqul mubin”.

Barangsiapa yang membaca “La ilaha illallahul malikul haqqul mubin”, maka bacaan itu akan menjadi keamanan dari kefakiran dan menjadi penenteram dari rasa takut dalam kubur”. (HR. Abu Nu’aim dan Ad-Dailami).

3.Melanggengkan Istighfar.

“Barangsiapa melanggengkan istighfar, niscaya Allah mengeluarkan dia dari segala kesusahan dan memberikan dan memberikan dia rezeki dari arah yang tidak diduganya”. (HR.Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

4.Membaca Surah Al-Ikhlas.

“Barangsiapa yang membaca surah al-Ikhlas ketika masuk rumah, maka (berkah bacaan) menghilangkan kefakiran dari penghuni rumah dan tetangganya”. (HR.Tabrani).

5.Membaca surah al-Waqi’ah

“Barangsiapa membaca surah al-Waqi’ah setiap malam, maka tidak akan ditimpa kesempitan hidup”. (HR. Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).

6.Memperbanyak Shalawat atas Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam.

Ubay bin Ka’ab meriwayatkan , bila telah berlalu sepertiga malam, Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam berdiri seraya bersabda, “Wahau manusia, berzikirlah mengingat Allah. Akan datang tiupan (sangkakala kiamat), pertama kemudian diiringi tiupan keuda. Akan datang kematian dan segala kesulitan yang ada di dalamnya”.


7.Membaca “Subhanallah wabihamdihi subhanallahil ‘adzhim.

..dari setiap kalimat itu seorang malaikat yang bertasbih kepada Allah Ta’ala sampai diberikan untukmu sampia hari Kiamat yang pahala tasbihnya itu diberikan untukmu”. (HR.Al-Mustaqfiri dalam Ad-Da’wat, dinukilkan dari Ihya Ulumuddin al-Ghazali).

Sementara itu, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ada beberapa orang musyrik yang telah berbuat maksiat dan dosa, yaitu mereka membunuh dan berzina. Maka, m ereka menghadap Rasulullah untuk bertobat. Mereka pun bertanya kepada beliau, apakah akan diterima tobat mereka? Maka, turunlah ayat ini yang menerangkan hendaknya jangan berputus asa untuk terus mencari ampunan Allah Rabbul Alamin.

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Al-Qur’an : Az-Zummar : 53)

Semoga Allah Azza Wa Jalla memberikan rezeki dan melapangkan jalan hidup kaum muslimin, dan jauhkan dari jalan-jalan setan, yang selalu akan menyesatkan. Wallahu’alam.

Jumat, 29 April 2011

JILBAB MUSLIMAH DAN SYUBHAT [ KAJIAN ]



Banyak syubhat di lontarkan kepada kaum muslimah yang ingin berjilbab. Syubhat yang ‘ngetrend’ dan biasa kita dengar adalah ”Buat apa berjilbab kalau hati kita belum siap, belum bersih, masih suka ‘ngerumpi’ berbuat maksiat dan dosa-dosa lainnya, percuma dong pake jilbab! Yang penting kan hati! lalu tercenunglah saudari kita ini membenarkan pendapat kawannya.

Syubhat lainnya lagi adalah ”Liat tuh kan ada hadits yang berbunyi: Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk(rupa) kalian tapi Allah melihat pada hati kalian..!. Jadi yang wajib adalah hati, menghijabi hati kalau hati kita baik maka baik pula keislaman kita walau kita tidak berkerudung!. Benarkah demikian ya ukhti,, ??

Saudariku muslimah semoga Allah merahmatimu, siapapun yang berfikiran dan berpendapat demikian maka wajiblah baginya untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala memohon ampun atas kejahilannya dalam memahami syariat yang mulia ini. Jika agama hanya berlandaskan pada akal dan perasaan maka rusaklah agama ini. Bila agama hanya didasarkan kepada orang-orang yang hatinya baik dan suci, maka tengoklah disekitar kita ada orang-orang yang beragama Nasrani, Hindu atau Budha dan orang kafir lainnya liatlah dengan seksama ada diantara mereka yang sangat baik hatinya, lemah lembut, dermawan, bijaksana. Apakah anda setuju untuk mengatakan mereka adalah muslim? Tentu akal anda akan mengatakan “tentu tidak! karena mereka tidak mengucapkan syahadatain, mereka tidak memeluk islam, perbuatan mereka menunjukkan mereka bukan orang islam. Tentu anda akan sependapat dengan saya bahwa kita menghukumi seseorang berdasarkan perbuatan yang nampak(zahir) dalam diri orang itu.

Lalu bagaimana pendapatmu ketika anda melihat seorang wanita di jalan berjalan tanpa jilbab, apakah anda bisa menebak wanita itu muslimah ataukah tidak? Sulit untuk menduga jawabannya karena secara lahir (dzahir) ia sama dengan wanita non muslimah lainnya.Ada kaidah ushul fiqih yang mengatakan “alhukmu ala dzawahir amma al bawathin fahukmuhu “ala llah’ artinya hukum itu dilandaskan atas sesuatu yang nampak adapun yang batin hukumnya adalah terserah Allah.


Rasanya tidak ada yang bisa menyangsikan kesucian hati ummahatul mukminin (istri-istri Rasulullah shalallahu alaihi wassalam) begitupula istri-istri sahabat nabi yang mulia (shahabiyaat). Mereka adalah wanita yang paling baik hatinya, paling bersih, paling suci dan mulia. Tapi mengapa ketika ayat hijab turun agar mereka berjilbab dengan sempurna (lihat QS: 24 ayat 31 dan QS: 33 ayat 59) tak ada satupun riwayat termaktub mereka menolak perintah Allah Ta’ala. Justru yang kita dapati mereka merobek tirai mereka lalu mereka jadikan kerudung sebagai bukti ketaatan mereka. Apa yang ingin anda katakan? Sedangkan mengenai hadits diatas, banyak diantara saudara kita yang tidak mengetahui bahwa hadits diatas ada sambungannya.

Lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Dari Abu Hurairah, Abdurrahman bin Sakhr radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk tubuh-tubuh kalian dan tidak juga kepada bentuk rupa-rupa kalian, tetapi Dia melihat hati-hati kalian “(HR. Muslim 2564/33).

Hadits diatas ada sambungannya yaitu pada nomor hadits 34 sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan juga harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian. (HR.Muslim 2564/34).

Semua adalah seiring dan sejalan, hati dan amal. Apabila hanya hati yang diutamakan niscaya akan hilanglah sebagian syariat yang mulia ini. Tentu kaum muslimin tidak perlu bersusah payah menunaikan shalat 5 waktu, berpuasa dibulan Ramadhan, membayar dzakat dan sedekah atau bersusah payah menghabiskan harta dan tenaga untuk menunaikan ibadah haji ketanah suci Mekah atau amal ibadah lainnya. Tentu para sahabat tidak akan berlomba-lomba dalam beramal (beribadah) cukup mengandalkan hati saja, toh mereka adalah sebaik-baik manusia diatas muka bumi ini. Akan tetapi justru sebaliknya mereka adalah orang yang sangat giat beramal tengoklah satu kisah indah diantara kisah-kisah indah lainnya.

Urwah bin Zubair Radhiyallahu anhu misalnya, Ayahnya adalah Zubair bin Awwam, Ibunya adalah Asma binti Abu Bakar, Kakeknya Urwah adalah Abu Bakar Ash-Shidik, bibinya adalah Aisyah Radhiyallahu anha istri Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam. Urwah lahir dari nasab dan keturunan yang mulia jangan ditanya tentang hatinya, ia adalah orang yang paling lembut hatinya toh masih bersusah payah giat beramal, bersedekah dan ketika shalat ia bagaikan sebatang pohon yang tegak tidak bergeming karena lamanya ia berdiri ketika shalat. Aduhai,..betapa lalainya kita ini,..banyak memanjangkan angan-angan dan harapan padahal hati kita tentu sangat jauh suci dan mulianya dibandingkan dengan generasi pendahulu kita. Wallahu’alam bish-shawwab.

sumber : MAJELIS TAUSIAH PARA KYAI & USTADZ INDONESIA

SHUBUH BERJAMAAH (UST ARIFIN ILHAM)

Untuk menggelorakan semangat shalat subuh berjamaah di masjid-masjid yang selama ini sepi akan jamaahnya, Ustadz Muhammad Arifin Ilham bersama-sama Majelis Zikir Az-Zikra sejak setahun lalu mengadakan Gerakan Subuh Keliling dengan mengendarai motor. Maka, hampir setiap Jumat subuh, puluhan bahkan kadang lebih dari 100 motor dengan tertib konvoi menuju masjid-masjid di sekitar wilayah Depok. ”Umat Islam mayoritas, tapi minoritas yang beriman. Jadi, nggak usah pakai apa-apa kalau ingin tahu kualitas orang beriman lihat dari shalat Subuhnya,” ujar Pimpinan Majelis Az-Zikra, Ustadz Arifin Ilham, Senin.

Kepada wartawan Republika, Damanhuri Zuhri, ia menceritakan bagaimana ia membangun komunitas jamaah shalat Subuh di wilayahnya. “Tak sulit, asal ada kemauan,” ujarnya. Berikut ini petikan wawancaranya:
Bisa dijelaskan latar belakangan Gerakan Subuh Keliling?
Latar belakang Gerakan Subuh Keliling, pertama melihat kondisi umat Islam keseluruhan saat ini. Dalam keadaan hubbud dunia (cinta dunia, red) ini seluruh aspek kehidupan mengalami krisis yang luar biasa, politik, ekonomi, sosial, budaya, bukannya dalang tapi jadi wayang. Ini satu renungan Arifin mendasar bagaimana memulainya? Maka, belajar dari metode hijrah Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW ketika hijrah, pertama yang dibangun adalah masjid. Kalau mau melangkah kebangkitan umat Islam mulai juga dari masjid. Infrastruktur negara, politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan militer Madinah dibangun dari masjid. Langkah perdana mengembalikan umat itukepada masjid.
Dengan senangnya mereka beribadah maka, akhlak mereka akan menjadi mulia. Jadi, dua hal yang dapat dibedakan, nggak dapat dipisahkan. Kata orang yang sosialis, ”Itu hanya ritual saja.” Justru akhlak yang perdana itu, hablum minallah dan hablumminan naas. Dengan senangnya dia beribadah maka dia akan berakhlak mulia. Dan akhlak mulia itu karena dia melakukan kesenangan ibadah.


Makanya, kalau orang sudah khusyuk shalatnya hal yang tidak bermanfaat dia tinggalkan, zakat dia tunaikan, tidak mau berzinah, dia jaga kehormatan dirinya, dia tepat janji, lalu dia jaga shalat-shalatnya.

Kenapa yang dipilih Subuh?
Memulai hari itu Subuh. Dan ternyata, orang Yahudi mengukurnya Subuh. Kalau sahabat Nabi Muhammad jelas untuk mengetahui orang munafik, Subuh dia tidak shalat. Makanya, shalat yang paling berat buat orang munafik adalah Subuh dan Isya. Orang Yahudi itu tahu, makanya dia ukur dari shalat Subuh. Jika jamaah Subuh umat Islam sebanyak jamaah Jumat-nya, maka itu kebangkitan umat Islam.

Karena itu, Allah SWT, menyebutkan dalam QS At-Taubah ayat 18: ‘Hanya orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir itu adalah orang-orang yang memakmurkan masjid.” Mukmin banyak di Indonesia ini, tapi mukmin yang selalu shalat Subuh berjamaah di masjid dapat dihitung dengan jari.
Umat Islam mayoritas, tapi minoritas yang beriman. Jadi, nggak usah pakai apa-apa kalau ingin tahu kualitas orang beriman lihat dari shalat Subuhnya. Kalau, nggak shalat Subuh berjamaah di masjid, berarti belum beriman dia, tanpa alasan syar’i. Manfaat Subuh berjamaah di masjid itu menunjukkan seorang mukmin itu mujahid karena dia melawan hawa nafsunya. Dia meninggalkan rumahnya menuju rumah Allah. Luar biasa itu. Makanya saya menyebutnya ‘Mujahidin Fajar’.

Kedua, masjid itu Rumah Allah. Bandingkan, kalau kita mau masuk istana sangat susah, penjagaannya ketat. Ini rumah Allah, yang lebih dari pada sekedar istana, yang ada di depan mata, tapi kenapa berat untuk melangkah. Takdir kita di tangan-Nya, hidup mati kita di tangan-Nya, rezeki di tangan-Nya, alangkah naif kalau kita tidak mau datang kepada-Nya.
Maka itu, adzan, bukan panggilan muadzin tapi panggilan Allah. Dan itulah undangan yang paling sempurna. Selesai kumandang adzan kita seraya berdoa, Allahumma robba hadzihidda’watittammah, inilah undangan yang paling sempurna. Bisa dibayangkan kalau kita diundang raja, ini yang mengundang kita yang Maha Merajai, yang punya langit dan bumi. Makanya yang dipanggil yang bersyahadat, yang nggak bersyahadat tidak dipanggil. Jadi, jangan mencari dalil, pulang kerjanya larut malam, atau karena berangkat kerja sebelum Subuh. Kalau kita sudah niat, pasti bisa. Man jadda wajada.

Kenapa kita jadi minoritas untuk urusan ibadah?
Al-wahn, karena cinta dunia, akibatnya kita malas ibadah. Al-wahn ini tanda kelemahan iman. Kemudian, masjid itu disebut juga baitul malaikat. Jadi, setiap pintu dijaga malaikat yang mengaminkan orang yang masuk masjid. Allahummaftahli abwaba rahmatika, malaikat mengaminkan. Kemudian malaikat mengikuti dan mengaminkan doa kita di masjid, mendoakan kita selama tidak maksiat di masjid.
Begitu, kita keluar diaminkan lagi oleh malaikat. Allahumma inni as’aluka minfadlik. Malaikat mengaminkan lagi, barakna haulahu. Orang yang baru keluar dari masjid, diberkahi lagi oleh Allah, bukan hanya dia tapi siapa yang ada di dekat dia. Misalnya rezekinya, aktifitasnya, ide-idenya, perjuangannya. Apa lagi jika dia seorang da’i, dakwahnya diberkahi oleh Allah. Bila dia seorang guru, dia berwibawa. Siapa saja, istrinya, anaknya, sahabatnya.

Makanya, Ibnu Rowahah, tokoh pemikir ekonominya Rasulullah Saw, kalau berbisnis dia bukan bertanya berapa modalnya, tapi yang ditanya kamu shalat Subuh di mana? Kalau shalat Subuh di masjid, ayo kita berbisnis. Karena, beliau yakin orang yang shalat Subuh berjamaah di masjid akan membawa keberkahan dalam bisnisnya, dalam pergaulannya, dalam persahabatannya.


Ketiga, masjid itu adalah Baiturrasul. Makanya Nabi sampai akhir hayatnya selalu di masjid sampai beliau digotong ke masjid. Nggak kuat menjadi imam malah menjadi makmum. Sampai beliau bersabda, kalau umatku tahu keutamaan ke masjid, sampai merangkakpun pasti ke masjid. Cuma sayangnya yang tahu itu hanya orang yang beriman.
Keempat, masjid adalah baitul mukminin (rumahnya orang-orang mukmin). Tempat berkumpulnya orang-orang beriaman itu masjid. Dan itu mencairkan semua masalah. Sifat hasud, takabur, perselisihan, dengan dia bersama-sama ke masjid, ada ukhuwwah. Banyak masalah yang bisa diselesaikan di masjid. Masjid juga rumahnya orang-orang fakir. Maka di situ ada Baitul Mal. Makanya para dai Allah harus menjadi pelopor untuk shalat berjamaah di masjid.

Apa saran ustadz supaya orang gampang shalat Subuh berjamaah?
Azam (kemauan keras), nawaitu-nya harus kuat. Rebutlah hidayah fajar itu. Masa dihidangkan oleh Allah, hidayah-rahmat, barakah, pagi-pagi nggak mau.

sumber :
MAJELIS TAUSIAH PARA KYAI & USTADZ INDONESIA

Kamis, 28 April 2011

MAJELIS TAUSIAH PARA KYAI & USTADZ INDONESIA


Kapankan seorang hamba itu mengetahui bahwa sebuah musibah adalah ujian ataukah siksaan



إذا ابتلي أحد بمرض أو بلاء سيئ في النفس أو المال ، فكيف يعرف أن ذلك الابتلاء امتحان أو غضب من عند الله ؟

Pertanyaan, “Jika seorang mendapatkan musibah berupa penyakit, ataukah keadaan buruk terkait dengan diri atau hartanya, bagaimanakah cara orang tersebut untuk mengetahui apakah musibah tersebut ujian ataukah bentuk amarah Allah (baca:siksaan atau adzab)?

فأجاب : الله عز وجل يبتلي عباده بالسراء والضراء , وبالشدة والرخاء ، وقد يبتليهم بها لرفع درجاتهم وإعلاء ذكرهم ومضاعفة حسناتهم , كما يفعل بالأنبياء والرسل عليهم الصلاة والسلام والصلحاء من عباد الله ،

Jawaban “Allah itu menguji hamba-hamba-Nya dengan kesenangan dan kesusahan, nikmat dan musibah. Terkadang Allah menguji mereka dengan hal-hal di atas untuk memuliakan dan meninggikan derajat mereka serta untuk melipatgandakan pahala mereka. Demikianlah maksud Allah dengan menguji para nabi, rasul dan orang-orang yang shalih.

كما قال النبي صلى الله عليه وسلم : ( أشد الناس بلاء الأنبياء ، ثم الأمثل فالأمثل ) ،

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi kemudian manusia yang lebih rendah derajatnya kemudian manusia yang lebih rendah derajatnya”.

وتارة يفعل ذلك سبحانه بسبب المعاصي والذنوب ، فتكون العقوبة معجلة كما قال سبحانه : ( وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت
أيديكم ويعفو عن كثير ) ،

Namun terkadang, Allah memberikan musibah karena maksiat dan berbagai dosa. Sehingga musibah ketika itu adalah hukuman yang disegerakan di dunia (baca:siksaan atau adzab). Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Semua musibah yang menimpa kalian adalah karena dosa yang kalian lakukan dan banyak dosa yang Allah maafkan”(QS asy Syura:30).

فالغالب على الإنسان التقصير وعدم القيام بالواجب ، فما أصابه فهو بسبب ذنوبه وتقصيره بأمر الله ،

Umumnya manusia itu tidak melakukan kewajiban atau tidak melakukan kewajiban sebagaimana seharusnya. Sehingga musibah yang menimpanya adalah disebabkan tumpukan dosa dan kelalaian terhadap perintah Allah.

فإذا ابتلي أحد من عباد الله الصالحين بشيء من الأمراض أو نحوها فإن هذا يكون من جنس ابتلاء الأنبياء والرسل رفعاً في الدرجات ,
وتعظيماً للأجور , وليكون قدوة لغيره في الصبر والاحتساب

Jika ada hamba Allah yang shalih mendapatkan ujian berupa penyakit atau lainnya maka musibah yang menimpanya adalah sejenis dengan ujian yang dialami oleh para nabi dan rasul. Itulah ujian untuk meninggikan derajat dan memperbesar tabungan pahala. Demikian supaya orang shalih tersebut bisa menjadi teladan bagi yang lain dalam masalah kesabaran dan berharap pahala.


فالحاصل : أنه قد يكون البلاء لرفع الدرجات , وإعظام الأجور , كما يفعل الله بالأنبياء وبعض الأخيار ،

Walhasil, musibah yang menimpa seseorang itu memiliki beberapa kemungkinan.

Pertama, musibah tersebut bertujuan untuk meninggikan derajat orang tersebut, memperbesar tabungan pahalanya. Itulah musibah yang menimpa para nabi dan sebagian orang-orang yang shalih.

وقد يكون لتكفير السيئات كما في قوله تعالى : ( من يعمل سوءً يُجز به ) ،

Kedua, musibah itu boleh jadi adalah sebab dihapusnya berbagai dosa, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Barang siapa yang melakukan keburukan (baca:maksiat) maka dia akan mendapatkan balasan karena keburukan yang telah dilakukannya”(QS an Nisa:123).

وقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( ما أصاب المسلم من همٍّ ولا غم ولا نصب ولا وصب ولا حزن ولا أذى إلا كفَّر الله به من خطاياه حتى الشوكة يشاكها ) ،

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua kecemasan, kegalauan, rasa capek, sakit, kesedihan dan gangguan yang dialami oleh seorang muslim sampai-sampai duri yang menusuk kakinya adalah penyebab Allah akan menghapus dosa-dosanya”.

وقوله صلى الله عليه وسلم : ( من يرد الله به خيراً يُصِب منه ) ،

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang Allah kehendaki untuk mendapatkan kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya”.

وقد يكون ذلك عقوبة معجلة بسبب المعاصي وعدم المبادرة للتوبة

Ketiga, musibah itu bisa jadi adalah hukuman yang disegerakan (baca: siksaan atau adzab) di dunia disebabkan tumpukan maksiat dan tidak bersegera untuk bertaubat.

كما في الحديث عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( إذا أراد الله بعبده الخير عجَّل له العقوبة في الدنيا ، وإذا أراد بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافيه به يوم القيامة ) خرجه الترمذي وحسنه ”

Sebagaimana dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan untuk seorang hamba-Nya maka Allah akan menyegerakan hukuman untuknya di dunia. Sebaliknya jika Allah menghendaki keburukan untuk seorang hamba maka Allah akan biarkan orang tersebut dengan dosa-dosanya sehingga Allah akan memberikan balasan untuk dosa tersebut pada hari Kiamat nanti” (HR Tirmidzi dan beliau menilainya sebagai hadits dengan kualitas hasan).

PAKSAIN IBADAH ( UST YUSUF MANSUR )


Lumayan sering saya ngomong, paksain, paksain, paksain. Paksain buat sedekah. Bila ga ada duit, jual barang. Jika ga ada barang, pasang niat. Jika perlu, begitu saya katakan, ngutang aja. Supaya bisa bersedekah.

Tentu saja, pasti tidak semua hal bisa dibahas habis di 1x pengajian. Saya yang barangkali tidak arif. Sehingga kedengerannya kayak memaksakan seseorang buat bersedekah.

Sebelum biara tentang maksa dan maksain sedekah, izinkan saya bicara dulu semukaddimahnya.

Aslinya memang saya sering maksa orang bersedekah sih, he he he. Saya bilang, urusan baik, kudu dipaksain. Dulu, kalo saya ga dipaksa mengaji, mungkin ga akan ada ilmu agama. Seorang anak jika ga dipaksa masuk pesantren, mungkin malah orang tuanya yang melarang-larang. Saking sayangnya, begitu mungkin. Padahal membekali anak dengan ilmu dan kebiasaan beragama yang baik, adalah bentuk sayang buat anak-anak kita.

Lampu merah, kuning, hijau, emangnya bukan pemaksaan? Itu kan pemaksaan. Lampu merah, kita dipaksa untuk berhenti. Ga boleh kita ga berhenti. Harus berhenti. Lalu misalnya kebetulan perempatan itu perempatan yang indah, lalu kita masih kepengen berlama-lama. Atau ada nomor telepon dari iklan di perempatan lampu merah yang mau dicatat. Ga boleh juga kita masih berhenti kalo lampunya udah berubah hijau. Padahal dikit lagi nih bisa kecatat, tetap engga boleh. Detik itu hijau, detik itu kudu mulai jalan. Pas merah pun gitu. Coba aja lampu merah ditabrak, pasti kecelakaan yang ada.

Kenapa kita dipaksa lalu nurut? Sebab kita tahu itu adalah kebaikan adanya, dan membelakanginya adalah keburukan.

Dalam urusan agama, seringkali kita tidak memaksakan diri. Terlalu memanjakan diri. Di banyak ibadah ini terjadi. Sehingga kalimat tidak membebankan diri sering jadinya tidak memaksimalkan diri. Akhirnya, ibadahnya begitu-begitu saja. Seringkali turun kuantitas dan kualitasnya malah: Shalat malam, ga dipaksakan. Shalat dhuha, ga dipaksakan. Shalat tepat waktu, ga dipaksakan. Berhaji ga dipaksakan. Dan masih banyak lagi. Semuanya ga dipaksakan, padahal bisa.

Shalat malam, kalo emang diniatin, mestilah bangun. Aturlah supaya bisa tidur lebih awal. Olahragalah di malah hari, dengan shalat sunnah yang agak banyak menjelang tidur. Sebagai pengantar tahajjud yang fresh punya. Begitu terbangun, langsung paksa badan bangun dan melangkah mengambil air wudhu. Kalau perlu langsung mandi. Dan bilamana perlu, ambil sajadah kemudian shalatnya di luar rumah; di halaman rumah, di mushalla deket rumah, atau di mana keq sekedar perubahan suasana. Shalat malam beratapkan langit dan bebintangnya, cakep juga buat supaya tidak ngantuk.

Shalat dhuha, bila tidak dipaksakan, ntar ga dhuha-dhuha. Lihat saja diri kita. Ketika kita dulu sekolahnya di sekolah yang tidak memberlakukan dhuha, bertambah-tambahlah tidak ada dhuhanya sama sekali. Dan keadaan ini berlanjut. Sebenernya, ketika kita berada di kantor, bisalah menyempatkan diri sebentar, walo hanya 2 rakaat dhuha. Pergilah ke kantor dalam keadaan berwudhu. Supaya ketika tiba di kantor, kita bisa menegakkan dhuha di samping meja kerja kita. Di warung kita, di toko kita, di sekolah, di kampus, di mana saja kita sempatkan. Waktu mah bagaimana kita. Tentu saja salah besar jika seseorang shalat dhuha sampe 1-2 jam. Kecuali di hari libur, ya tegakkanlah shalat dhuha 2 rakaat dengan bacaan yang pendek. Cukup. Asal istiqamah. Tar sesekali, kita kemudian shalat pol 12 rakaat, yakni manakala sedang libur.

Berhaji. Berhaji jika tidak dipaksakan, wuah, alasan utamanya adalah: Belom ada panggilan. Di saat yang sama belom berhaji, keadaan uang berlimpah. Atau kalaupun tidak berlimpah, bisa lah kira-kira pergi haji kalau maksain. Misalnya, rumah ada. Tapi baru satu. Lah, satu-satunya rumah itu kemudian dijual buat pergi haji. Orang sering menyebut maksain. Tapi saya menyebut maksimalisasi. Emang harus maksain. Masa lebih penting rumah ketimbang nyempurnain Rukun Islam? Duit emang ga punya, tapi mobil punya, ya jual saja mobilnya. Ngontrak rumah sewaan, dan pake mobil sewaan. Insya Allah memaksakan diri seperti ini menjadi ibadah yang subhaanallaah. Ibadah yang dilakukan dengan pengorbanan.

Puasa. Baik puasa wajib atau puasa sunnah. Iddih, ibadah puasa ini, jika tidak memaksakan diri, habislah badan ini jadi manja. Tar malah kelamaan engganya, jadi malah seumur-umur ga biasa dan ga bisa puasa.

Di pesantren Daarul Qur’an, banyak ibadah sunnah awalnya diprotes oleh beberapa walisantri. Ada yang beralasan medis, ada yang beralasan perlahan perlahan, dan satu dua alasan lain. Puasa contohnya, kata satu dua walisantri, anaknya ga terbiasa puasa. Perutnya suka sakit. Alhamdulillah, dengan pengajaran, dan terbangunnya lingkungan, anaknya malah menyuruh orang tuanya puasa. Ga ada tuh yang dikhawatirkan. Kalao khawatir terus, malah kekhawatiran itu yang lebih mengemuka nantinya. Shalat dhuha, sungguhpun ia sunnah, di pesantren jadi amalan wajib. Di awal-awal ada suara, mengapa jadi wajib? Bukankah Rasulullah saja tidak mewajibkan? Saya jawabnya enteng aja, dhuha emang sunnah. Tapi yang jadi masalah, situ sekolahnya di Daarul Qur’an. Dan di Daarul Qur’an dhuha itu wajib. Titik. Mau nurut, apa engga? Kalau engga mau nurut peraturan, ya maaf, keluar aja. He he, maaf ya. Itu bahasa saya memang. Kasar ya? Yah, pegimana niatnya dah.

Sama, urusan dunia juga kalau engga dipaksakan, bakalan malas lah yang ada: Olahraga tuh yang paling kelihatan. Kalau engga dibiasakan dan dipaksakan diri ini berolahraga, sampe kemudian jatuh sakit baru keingetan olahraga. Jam masuk sekolah, kalau tidak dipaksa menjadi peraturan dan tata tertib yang ada sangsinya, niscaya akan berantakanlah kedisiplinan. Semuanya semaunya.

Jadi, tidak semua pemaksaan itu jelek. Pemaksaan itu kadang bagus buat yang dipaksa. Pemaksaan yang dibarengi dengan penyadaran diri, tarbiyyah bahasa agamanya, tentu akan jauh lebih baik lagi. Taatnya bukan karena peraturan. Tapi karena kesadaran.